Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha menyebutkan implementasi perdagangan jasa yang lebih bebas di antara negara-negara Asean belum tentu bisa dinikmati oleh Indonesia secara maksimal.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Jimmy Gani mengatakan bisnis perdagangan ritel sejatinya memiliki peluang yang besar mengingat populasi di Asean yang besar.
Namun, perdagangan jasa dengan metode kehadiran komersial atau commercial presence dia sebut tak bisa dilakukan oleh semua pelaku usaha.
“Terkadang pada tahun pertama masuk di pasar baru perusahaan harus menggunakan strategi menarik konsumen yang agresif, misalnya dengan subsidi. Namun tidak semua pelaku usaha punya kemampuan itu,” kata Jimmy, Senin (12/4/2021).
Di sisi lain, jasa distribusi menjadi salah satu subsektor yang mengalami tekanan dalam selama pandemi bersama dengan transportasi dan pariwisata.
Subsektor ini memanfaatkan moda perdagangan yang melibatkan interaksi langsung antara penyedia jasa dan konsumen. Moda tersebut adalah consumption abroad yang melibatkan perjalanan langsung konsumen ke lokasi jasa dan movement of natural persons atau pergerakan sementara penyedia jasa ke suatu negara.
Dalam bisnis ritel, Jimmy mengatakan ekspansi atau ekspor jasa biasanya diiringi dengan perpindahan pekerja level manajemen atau direksi pada awal mula usaha. Praktik lumrah ini sulit diimplementasikan saat pandemi.
Terpisah, Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Didien Djunaedi perdagangan jasa sektor pariwisata bisa saja diterapkan selama pandemi jika negara-negara di Asean bekerjasama dalam merealisasikan travel corridor atau travel bubble.
Sebagaimana diketahui, beberapa negara Asean menjadi penyumbang terbesar kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia sebelum pandemi terjadi.
“Namun untuk mengimplementasikannya kita harus memastikan bahwa destinasi dalam koridor ini benar-benar kawasan hijau atau bebas Covid-19. Jadi kembali lagi ke bagaimana penanganannya,” kata Didien.
Dia justru mengutarakan kekhawatiran jika perdagangan jasa di Asean makin bebas karena Indonesia masih tertinggal dalam sejumlah aspek. Dari segi wisata kesehatan misalnya, dia mengatakan Indonesia masih terbatas memainkan peran sebagai konsumen alih-alih sebagai penyedia jasa.
“Ini terjadi sejak lama dan bukan karena kita dokter tidak kompeten, tetapi karena biaya berobat di luar negeri lebih murah untuk kualitas yang sama,” kata dia.
Kementerian Perdagangan mencatat ekspor jasa Indonesia mengalami kenaikan 9,02 persen per kuartal III/2020 dan diikuti dengan kenaikan impor sebesar 14,34 persen pada periode yang sama.
Pertumbuhan ekspor jasa secara tahunan terbesar disumbang oleh jasa keuangan sebesar 14,04 persen dan jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi sebesar 10,21 persen.
Sementara kenaikan per kuartal terbesar disumbang oleh jasa bisnis lainnya sebesar 16,58 persen, jasa telekomunikasi, komputer, dan informasi sebesar 15,89 persen, serta jasa perjalanan sebesar 10,67 persen.
Pelaku Usaha Masih Hadapi Kendala Genjot Ekspor Jasa - Bisnis.com
Klik Disini Lajut Nya
No comments:
Post a Comment