Reporter: Sri Sayekti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Fakta industrialisasi Ramadan tidak bisa lagi dihindari, termasuk juga ancaman perilaku konsumerisme. Akibatnya, Ramadan tidak sekadar ritual ibadah mayoritas umat Islam, tetapi berkah merasuk semua bisnis terutama di negara dengan mayoritas berpenduduk muslim. Seperti di Indonesia, semua bisnis yang ada diarahkan bernuansa Ramadan.
Akibatnya, pelan tetapi pasti inflasi musiman meningkat dan hal ini akan terus naik sampai Idul Fitri. Bahkan, ketika memasuki bulan Ramadan, semua acara TV diubah setting-nya dan prime time-nya juga berubah sehingga bernuansa Islami meskipun tetap berbasis industrialisasi media yang sarat komersialisasi.
Meski situasinya kini berbeda akibat pandemi namun esensi dari berkah dan industrialisasi Ramadan tidak bisa diremehkan. Benang merah terkait inflasi musiman selama Ramadan tentu tidak bisa lepas dari fenomena konsumerisme dan impulse buying atau pembelian tidak terencana.
Potret riil dari konsumerisme karena memang selama Ramadan dunia usaha makin getol menjual iklan, terutama TV. Akibatnya, gayung bersambut, tv beragam menjual space iklan, dari sahur sampai sahur lagi.
Selain itu, tv dan juga semua perangkat yang terlibat didalamnya ikutan merubah image menjadi semakin religius dan ini melingkupi semua paket kemasan yang dijual ke pemirsa. Bahkan, berita yang disajikan juga tidak bisa lepas dari sentuhan pernak-pernik nuansa ramadan.
Realitas dari industrialisasi Ramadan juga didukung dengan peredaran uang karena prediksi Bank Inonesia (BI) jumlah uang beredar Ramadan mencapai triliun rupiah. Jadi, meskipun setahun pandemi dan ada larangan mudik tetapi itu semua tidak menyurutkan esensi berkah Ramadan.
Fenomena ini bagi sebagian ulama menyebut dengan istilah menjual Ramadan dengan berkah Ramadan yang bersifat universal. Di sisi lain, Ramadan tidak bisa lepas dari kepentingan duniawi dan nuansa kapitalis dalam balutan liberalisme melalui pasokan barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan Ramadan bagi mayoritas umat Islam.
Artinya, sah saja jika konsumerisme tidak bisa lepas dalam balutan nuansa Ramadan sampai kapanpun. Bahkan, setiap Ramadan selalu saja muncul trend pakaian muslimah yang diinspirasi dari selebritis yang mengisi banyak sinetron bernuansa Islami selama Ramadan.
Jadi jangan heran jika ada istilah kopiah ala Aa Gym, peci ala Opick, baju koko ala almarhum Ustad Jefri dan atau gaya Ustadz Abdul Somad, bahkan jilbab gamis ala selebritis, dll.
Yang juga menarik terkait konsumerisme ala ramadan adalah munculnya berbagai jenis album musik bernuansa Islami. Bahkan, sejumlah grup band juga rutin mengeluarkan album religi untuk tidak kehilangan momen pemasaran dalam 30 hari selama Ramadan. Artinya, meski cuma 30 hari tetapi berkah Ramadan menjadi pangsa pasar yang menjanjikan bagi semua pelaku bisnis mulai dari kelas kaki lima yang menjual pernak-pernik ramadan sampai kelas penjual takjil dadakan menjelang beduk magrib.
Intinya, semua larut mencari laba di bulan Ramadan yang cuma berlangsung 30 hari. Sekali lagi, inilah yang disebut nilai berkah Ramadan yang bersifat universal.
Impulse buying
Potret lain yang tidak bisa terlepas dari bulan Ramadan adalah impulse buying dan fenomena ini tentu tidak bisa lepas dari perilaku ngabuburit sekadar membuang waktu menjelang buka puasa (harus tetap mematuhi prokes). Tentu ada banyak alternatif untuk ngabuburit namun salah satu pilihan yang sering dipilih oleh umat Islam adalah ke mal.
Tentu ada banyak argumen mengapa mal dipilih, termasuk di masa pandemi. Pertama: mal menjanjikan one stop shopping yang menyajikan semua pilihan kebutuhan konsumen. Oleh karena itu, beralasan jika mal menjadi pilihan utama umat Islam untuk membuang waktu menjelang beduk magrib sehingga sektor ritel bangkit selama Ramadan.
Kedua, suasana mal sangat menjanjikan untuk menghabiskan waktu sampai menjelang beduk magrib. Artinya, ketika sebagian besar umat Islam ngabuburit di mal tanpa terasa beduk magrib bertalu mereka yang berpuasa bisa langsung menuju ke gerai food court yang menyediakan berbagai menu mulai yang berlisensi asing sampai menu lokal, dari yang prasmanan sampai disajikan, dari kelas kaki lima sampai bintang lima.
Inilah bentuk berkah Ramadan yang memberikan pilihan selera menyesuaikan kemampuan dirinya. Hal ini bisa dilakukan dalam kondisi normal, namun di masa pandemi dengan kebijakan yang sedikit longgar dari pemerintah maka potensi dari belanja mal juga akan meningkat.
Ketiga, budaya mal impulse buying sebagai muara dari konsumerisme itu sendiri telah berkembang dalam budaya sebagian masyarakat di perkotaan.
Karena itu, tidak mengherankan jika Ramadan identik dengan mal, mulai dari semua kebutuhan untuk sahur sampai buka puasa, termasuk pernak-pernik bagi ibadah Ramadan itu sendiri.
Jika sudah demikian, sinergi antara pahala dan laba harus dimanfaatkan tanpa mengabaikan hakikat dan ritual Ramadan itu. Sejumlah daerah juga toleran dengan melarang sahur on the road karena bisa berpotensi mengancam sebaran pandemi.
Meski Ramadan tidak pernah bisa terlepas dari kepentingan ekonomi - bisnis tetapi sebagian ulama mengingatkan agar kultur Ramadan tidak tergerus budaya modernitas yang kian mengerumuni Ramadan itu sendiri. Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan agar nuansa ibadah dan kekhusyukan Ramadan tidak luntur.
Penanaman kultur ibadah ini penting, terutama untuk membangun pondasi bagi anak-anak sebagai alternatif membentengi budaya barat yang hedonis, konsumerisme dan impulse buying.
Ramadan memang diyakini memberi kebahagiaan untuk semua, utamanya bagi mereka yang bisa meraup laba dan pahala. Oleh karena itu berkah Ramadan memang bersifat universal dan semua berkepentingan untuk mendapatkan berkah Ramadan. Jadi, sangat beralasan jika Ramadan tidak pernah bisa terlepas dari pahala dan laba sehingga semua yang jeli melihat peluang ini menyebut Ramadan sebagai market share yang prospektif.
Esensi dibalik berkah Ramadan tentu tidak bisa terlepas dari ancaman belit inflasi yang kemudian menggerus daya beli. Padahal, setahun terakhir pandemi berdampak sistemik terhadap semua sektor. Oleh karena itu, pandemi setahun terakhir dipastikan juga rentan terhadap geliat ekonomi bisnis dan ancaman belit inflasi. Situasinya diperparah melalui kebijakan larangan mudik yang pastinya akan mengurangi potensi perputaran uang, baik di perkotaan atau di pedesaan.
Meskipun demikian, semangat Ramadan yang berlanjut lebaran meski tanpa mudik diharapkan tetap dapat memacu spirit berkah Ramadan yang bersifat universal, bukan hanya bagi kaum muslim, melainkan juga untuk semua kalangan.
Penulis : Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana Universitas Moehammadiyah Solo
Ramadan, Konsumsi dan Peluang Usaha - Kontan
Klik Disini Lajut Nya
No comments:
Post a Comment