Presiden Jokowi murka. Perkembangan financial technology (fintech) nyatanya juga memberi dampak mengerikan bagi rakyat. Pinjaman online (pinjol) ilegal bukan hanya memeras, namun juga merenggut nyawa banyak orang. Karena itulah, sejak beberapa hari lalu aparat menggrebek sejumlah markas pinjol ilegal (detikcom, 12/10 dan 14/10).
Kita semua sudah sepatutnya berbahagia mendengar berita ini. Pemerintah sudah tergerak untuk membasmi pinjol ilegal. Namun apakah itu berarti pinjol ilegal akan musnah? Menurut saya, tak semudah itu menghabisi pinjol ilegal.
Saya pribadi mencatat, sejak 2019 sedikitnya ada 9 kasus bunuh diri akibat pinjol ilegal. Kasus ini terjadi di banyak daerah, dengan latar belakang korban yang beragam. Meski demikian, alasannya sama. Mereka tak lagi kuat menahan beban teror yang dihunuskan pinjol ilegal.
Itu baru kasus bunuh diri, adapun jumlah masyarakat yang merasa diteror pinjol ilegal juga tak sedikit. Ambil contoh, sejak 2018 hingga Oktober 2021, Satgas Anti Rentenir Kota Bandung saja sudah menerima lebih dari 4.000 laporan perihal pinjol ilegal (detikcom, 14/10). Pastinya jumlah riil masyarakat korban pinjol ilegal ini bisa berlipat jika ditambah dengan aduan di kota lainnya.
Bila melihat referensi yang ada, pinjol ilegal bukanlah fenomena baru. Pinjol ilegal hanyalah rentenir yang bermutasi berkat kemajuan teknologi informasi.
Rentenir dulunya memiliki sifat-sifat yang khas. Pertama, mereka berorientasi mengeksploitasi nasabahnya. Tahun 2001 Heru Nugroho menulis buku Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa. Menurutnya rentenir tak bertujuan untuk membantu nasabah melewati masa sulit. Rentenir hadir justru untuk memerangkap dan memeras nasabahnya. Yang menjadi sasaran adalah masyarakat ekonomi lemah yang bekerja di sektor informal.
Kedua, rentenir zaman dulu masih berada dalam kontrol sosial. Pada sebelum dekade 2000-an, betapun jahatnya sifat rentenir, sebagian besar mereka masih was-was jika ada masyarakat yang tahu bahwa mereka adalah lintah darat, pengisap darah orang-orang susah. Karena itulah mereka sering menyamarkan aktivitas peminjaman uang berbunga besar itu. Misalnya dengan modus mengkreditkan barang (Nugroho, 2001). Dan, tak jarang memberi keringanan pada nasabahnya yang sedang kesusahan.
Ketiga, rentenir dan nasabah saling kenal. Peter Fearon dalam A 'Social Evil': Liverpool Moneylenders 1920s-1940s menulis tentang rentenir. Biasanya rentenir hidup tak jauh dari para nasabah, tulisnya. Hal ini membuat mereka saling mengenal yang lalu menciptakan trust. Trust yang tercipta itulah yang menjadi dasar bagi si rentenir untuk memberikan pinjaman tanpa agunan.
Lain rentenir, lain pula nasabah rentenir. Ada rasa malu yang besar pada diri nasabah jika masyarakat mengetahui dirinya berurusan dengan rentenir. Menurut saya, rasa malu itu bermula dari kemampuan aritmatika uang dan relasinya dengan status sosial.
Maksudnya begini. Uang mempunyai kemampuan mengubah sesuatu yang abstrak, yang bersifat kualitatif, menjadi kongkrit berupa angka. Kemampuan ini kemudian diserap oleh sistem sosial masyarakat.
"Sejahtera" adalah konsep yang abstrak. Tapi sejahtera berubah menjadi nyata ketika ia diukur dari jumlah kepemilikan uang. Kalau seseorang memiliki uang yang banyak, maka ia sejahtera. Status sosialnya tinggi. Jika memiliki uang sedikit, maka ia tidak sejahtera. Status sosialnya rendah.
Sekarang bisa dibayangkan bila ada yang tak berpunya uang dan justru memiliki utang. Tentunya status sosialya sangat buruk sekali. Dan, apa jadinya jika sudahlah tak punya uang, memiliki hutang, dan berutangnya dengan rentenir pula. Tentu status sosialnya di dalam kehidupan masyarakat hancur lebur. Mungkin karena inilah Nugroho bercerita bahwa masyarakat kita cenderung malu bila berutang, terlebih jika berutang kepada rentenir.
Artinya, aktivitas perenteniran pada jaman dulu memiliki beberapa karakteristik. Walau para rentenir berorientasi mengisap dara nasabahnya, namun mereka masih di dalam kontrol sosial, baik si rentenir maupun si peminjam sama-sama malu jika aktivitas mereka diketahui masyarakat. Tak jarang, karena saling kenal, keringanan utang sering diberikan rentenir kepada nasabahnya.
Sialnya, kemajuan teknologi informasi menyebabkan perkembangan yang asimetris antara rentenir dan nasabahnya. Rentenir menjelma menjadi Pinjol ilegal dengan segala kelebihan. Sedangkan para nasabah tidak mengalami perkembangan signifikan sehingga cenderung pada posisi yang semakin lemah.
Di era fintech ini, pinjol ilegal yang tak lain rentenir di era digital, memiliki prinsip yang sama dengan bentuk lamanya. Mereka masih berorientasi untuk mengeksploitasi nasabahnya. Laporan tahunan LBH Jakarta sebagai contoh, pinjol ilegal kerap memasang bunga yang tinggi, biaya admin yang tak jelas, hingga manipulasi sistem pembayaran (Wahyuni dan Turisno, 2019). Tentu agar nasabah tak bisa lepas dari jerat utang.
Dengan prinsip yang masih sama itu, teknologi informasi memberi mereka sejumlah keunggulan. Pertama, identitas pinjol ilegal adalah anonim. Selama proses peminjaman, komunikasi antara pinjol ilegal dan nasabah adalah asimetris, tak setara. Pinjol ilegal mengetahui dan bisa memiliki akses terhadap semua data si nasabah. Tetapi si nasabah sama sekali tidak memiliki informasi tentang siapa dan di mana pinjol ilegal itu berada. Pinjol ilegal menguasai nasabah mereka, sedangkan nasabah mereka sama sekali tak berdaya.
Kedua, identitas pinjol ilegal yang anonim membuat mereka lepas dari kontrol sosial. Bila dulu para rentenir masih memiliki rasa malu kepada masyarakat dalam menjalani profesi mereka, kini tidak lagi demikian. Menapa harus malu? Toh, tak satu pun yang tahu identitas mereka, bahkan nasabah mereka sekalipun.
Akibatnya sangat fatal. Di satu sisi pinjol ilegal tidak memiliki beban psikologis, sedangkan di sisi lain si nasabah tetap menanggung beban itu. Karena pinjol ilegal bisa mengakses data nasabah, mereka bisa mempermalukan nasabah di hadapan masyarakat. Sedangkan para nasabah tidak bisa mempermalukan pinjol ilegal (baca: rentenir digital) kepada masyarakat.
Situasi ini sangat berbeda dibanding dulu. Rentenir dan nasabah seolah bekerja sama menutupi kegiatan mereka agar mereka tidak sama-sama malu. Tetapi sekarang, pinjol ilegal berada pada posisi aman dan bisa mempermalukan nasabahnya tanpa nasabah tersebut bisa memberikan serangan balik.
Ketiga, ini yang paling mengerikan, tak adanya kontrol sosial dan tak saling kenalnya antara pinjol ilegal dan nasabah membuat sifat iblis pinjol ilegal bebas lepas. Tak ada batasan dalam memeras nasabahnya. Selagi masih hidup, semua darah nasabah bisa diisap habis.
Inilah yang membuat pinjol ilegal melakukan cara penagihan secara tak beradab, mengeksploitasi rasa malu nasabahnya. Mulai dari teror psikologis, menyebarkan informasi bahwa si nasabah berutang, serta menyebarkan informasi bahwa utang tersebut menumpuk dan sudah tak lagi mampu dibayar. Beberapa dari cara ini bermuara pada kasus bunuh diri akibat pinjol ilegal. Surat wasiat, cerita keluarga dan kerabat dari korban, serta keterangan dari pihak kepolisian mengonfirmasi kesimpulan ini.
Bahwa Presiden Jokowi dan aparat mulai membasmi pinjol ilegal, itu kabar baik. Tapi sejauh ini, sejumlah literatur menunjukkan, pinjol ilegal atau rentenir di era digital terlahir dari dua prekondisi, ekonomi yang buruk dan tak idealnya regulasi (Fearon, 2015; Nugroho, 2001).
Dan, di sini pula persoalan itu bisa diamati. Pascapandemi, perekonomian nasional ambruk. Tahun 2020 saja, ada 9,77 juta karyawan yang di-PHK (detikcom, 2/12/20). Membuat perekonomian nasional kembali bangkit butuh waktu yang cukup panjang, bukan pekerjaan semalam. Sedangkan peraturan hukum, UU Fintech masih disuarakan. Pastinya juga butuh waktu panjang untuk menghadirkan perangkat hukum tersebut.
Maka dari itu, harapan akan menghilangnya pinjol ilegal dalam waktu dekat hampir mustahil. Semoga aparat tetap aktif memberantas pinjol ilegal, perekonomian cepat pulih, dan perangkat hukum segera tersedia.
Yuli Isnadi dosen Fisipol UGM, pengkaji isu-isu 'internet politics'
(mmu/mmu)Usaha Membasmi Pinjol Ilegal - detikNews
Klik Disini Lajut Nya
No comments:
Post a Comment