JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan, perilaku suap masih menjadi modus utama pelaku usaha di Indonesia. Hal itu diketahui dari data perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.
"Data kami yang melibatkan pelaku usaha, baik itu yang dilakukan pihak swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sebagian besar perilaku korupsi dari pelaku usaha itu berupa penyuapan,” kata Direktur AKBU KPK Aminudin melalui keterangan pers, Jumat (16/4).
Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat total 1.071 perkara. Terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara, Pengadaan Barang dan Jasa (224 perkara), penyalahgunaan anggaran (48 perkara), tindak pidana pencucian uang (36 perkara), perizinan (23 perkara), pemerasan (26 perkara), dan merintangi proses penindakan KPK (10 perkara).
Aminudin melanjutkan, sesuai Pasal 12B ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas mereka.
Sementara, pada Pasal 12B ayat 2, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 Miliar.
“Suap merupakan tindak pidana bagi pemberi maupun penerima. Tapi, sanksi hukum tidak berlaku, jika penerima melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujarnya.
Amin mengingatkan, terkait pertanggungjawaban pidana korupsi oleh korporasi atau pelaku usaha, sejak lebih empat tahun lalu sudah terbit Perma (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 13 Tahun 2016 mengenai Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.
Untuk itu, sambungnya, KPK mendorong pelaku usaha mengikuti sertifikasi Ahli Pembangun Integritas (API) yang diadakan oleh KPK, serta mengaplikasikan sistem manajemen antisuap di internal perusahaan.
"Dengan menggunakan prinsip ISO 37001 atau mengikuti pedoman KPK dalam Panduan Pencegahan Korupsi (CEK) untuk dunia usaha.
Direktur Utama Indonesia Port Corporation (IPC) atau PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II Arif Suhartono menegaskan, pihaknya selalu berusaha agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tak ada aturan yang ditabrak.
“Kita harus menerapkan Good Corporate Governance (GCG) secara tepat. Di sinilah pentingnya berkomunikasi dan meminta masukan dari KPK, sehingga apa yang kita lakukan, meskipun tujuannya baik, bila ada proses yang tak baik hasilnya akan tak baik,” kata Arif.
Dia meyakini, semua pegawai dan pemangku-kepentingan di PT Pelindo berkomitmen untuk perbaikan sistem logistik di Indonesia, dengan melaksanakan tugas secara tepat dan tidak melanggar ketentuan.
Sementara itu, Komisaris Utama IPC Moermahadi Soerja Djanegara meminta semua jajaran PT Pelindo II untuk mencegah korupsi dan kecurangan atau fraud di internal perusahaannya. Yang diperlukan, ucapnya, adalah komitmen semua pemangku-kepentingan PT Pelindo II.
Korupsi dalam IPC, kata dia, akan menjadikan negara tidak mampu bersaing dengan negara lain, karena biaya logistik akan menjadi sangat tinggi. Karena itu, korupsi, fraud, dan lainnya, harus dicegah di perusahaan ini.
"IPC telah menerapkan beberapa cara untuk mencegah korupsi, yakni menetapkan amanah sebagai core value, implementasi manajemen risiko, pengendalian gratifikasi, dan penerapan Whistle-Blowing System (WBS),” urai Moermahadi.
Walaupun IPC sudah menerbitkan panduan Sistem Manjamen Anti Penyuapan (SMAP), kata dia, tetap diperlukan komitmen tiap individu di IPC. "Saya menegaskan, kerja sama dengan KPK sangat diperlukan," pungkasnya. (Herry Supriyatna)
Suap Masih Jadi Modus Pelaku Usaha - Validnews
Klik Disini Lajut Nya
No comments:
Post a Comment